Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bolehkah Mengkhususkan Diri Menjadi Peruqyah (Bagian 2)

Sekali Lagi Tentang Takhassus Sebagai Peruqyah
Musdar Bustamam Tambusai
(Founder MATAIR/Majlis Talaqqi Ilmu Ruqyah Internasional)

===============================

■ Tulisan saya sebelumnya yg berjudul "Spesialis Ruqyah Ada di Zaman Rasul" mendapat tanggapan pro-kontra dan itu sudah saya duga sebelumnya.

■ Kita menghargai pendapat yg tidak sependapat (kontra) itu. Karena pendapat mereka juga didasarkan pada fatwa ulama yg diakui keilmuannya.

■ Kita wajib menghormati para ulama yg memfatwakan Tidak Boleh Takhassush Menjadi Terapis Ruqyah untuk mengobati gangguan jin, sihir dan Penyakit Ruhiyah lainnya.

■ Alasan kuat yg mengemuka dari sebagian ulama yg melarang adalah :

1. Tidak adanya sahabat atau tabi'in yg menjadi mutakhassish (spesialis) ruqyah.

2. Masuknya orang-orang yg tidak layak melakukan praktik ruqyah karena kurangnya ilmu atau adanya tujuan-tujuan yg tidak baik.

■ Untuk sekedar berpendapat tanpa merendahkan pendapat para ulama kita, saya ingin menyampaikan sedikit pandangan.

1. Kita merujuk kpd QS. An-Nisa ayat 59 "Apabila kalian berbeda pendapat dlm suatu perkara, kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kpd Allah dan hari akhirat".

■ Berdasarkan ayat Ini, pendapat yg mengatakan Boleh atau Tidak Boleh harus berlandaskan dalil Al-Qur'an dan as-Sunnah. Adakah dalil yg mengatakan tidak boleh dari kedua sumber itu?.

■ Menghukumkan Tidak Boleh berarti meletakkan status hukum Haram / Terlarang atau setidaknya Makruh. Bukankah prinsip dasar sesuatu adalah Mubah/Boleh selama tidak ada dalil yg mengharamkan?

■ Jika kita ingin menetapkan status hukumnya Haram/Terlarang, maka mesti berdasarkan dalil. Apakah ada dalil yg mengharamkan takhassush menjadi peruqyah?

2. Jika alasannya, dikhawatirkan masuknya orang-orang yg tidak berilmu dalam profesi ini, maka landasannya adalah kaidah Saddudz Dzari'ah. Pertanyaannya : Apakah masuknya orang-orang yg tidak berilmu dlm bidang ini bisa menjadi dalil pengharaman?

■ Perbandingannya begini : Jika ada dokter melakukan tindakan mall praktik atau pelanggaran etika, apakah itu bisa menjadi alasan (dalil) pelarangan profesi dokter?

3. Jika alasannya bahwa tidak ada sahabat atau tabi'in yg mengkhususkan diri sbg peruqyah, maka tidak setiap yg mereka tidak lakukan menunjukkan bahwa itu terlarang.

■ Sebagai bahan renungan : Rasulullah saw melarang penulisan hadits karena khawatir akan bercampur baur dgn ayat-ayat al-Quran. Pelarangan itu berlanjut sampai kpd zaman sahabat utama beliau hingga tiba zaman dimana orang-orang yg memalsukan hadits Nabi mulai menisbahkan suatu ucapan kpd beliau.

■ Sejak itu para ulama mulai konsen mengumpulkan dan membukukan hadits-hadits Nabi utk mengantisipasi hadits-hadits palsu. Tampillah Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dll. Apakah para ulama-ulama ini melakukan perbuatan bid'ah karena telah melakukan sesuatu yg tidak dibuat Nabi dan sahabat beliau?

▶ • Sahabat Nabi tidak menulis dan tidak mengumpulkan hadits-hadits Rasul karena memang tidak ada motif atau sebab yg mendorong mereka melakukannya.

■ Sedangkan para ulama penulis kitab-kitab hadits melakukan itu karena adanya motivasi dan sebab yg mendorong mereka melakukan hal itu.

▶ • Dalam konteks ruqyah, sahabat Nabi tidak mengkhususkan diri karena tidak ada yg mengharuskan mereka melakukannya. Bukan karena terlarang atau haram.

▶ • Sedangkan di zaman sekarang, orang yg takhassush dibidang ini memang diperlukan. Apalagi di negeri yg banyak praktik Perdukunan dan Sihir spt Indonesia, Malaysia dll.

4. Untuk merespon kasus-kasus kontemporer, terkadang sulit menemukan jawabannya secara langsung dari nas alQuran dan as-Sunnah. Akan tetapi bisa menggunakan dalil-dalil lain spt qiyas, maslahat mursalah dll.

■ Berkenaan tentang pembolehan takhassush sbg peruqyah, cukup dgn menggunakan qiyas dan mashlahat mursalah. Tapi, ada beberapa riwayat hadits yg menunjukkan bahwa di zaman Nabi ada Orang-orang yg memang spesialis ruqyah dan dibolehkan Nabi sbg suatu perbuatan yg bermanfaat bagi orang lain. Lihat kembali tulisan saya sebelumnya.

5. Hukum Berjalan Mengikuti Illat (Sebab)-nya (Al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi). Orang-orang yg takhassush sbg peruqyah terhadap gangguan ular dan kala dianggap memberi manfaat selama gangguan itu masih ada. Tapi ketika mereka hidup di kota dan sudah tidak ada gangguan ular, maka profesi itu tidak diperlukan lagi.

■ Dinegeri para dukun dan tukang sihir masih gentayangan di dalamnya, keberadaan para peruqyah sangat diperlukan. Jika tidak, maka bahaya akan mengancam umat sebab setiap orang akan menjadikan dukun, tukang sihir dan paranormal menjadi rujukan. Kesyirikan pun tidak terbendung.

■ Ada yg bilang bahwa menjadikan ruqyah sbg profesi itu yg tidak boleh.
Jawaban saya begini : Ketika ada orang yg mengalami gangguan jin spt kesurupan atau terindikasi sihir, adakah para Kyai atau Ustadz yg tidak spesialis ruqyah melakukan tindakan secara intensif? Tidak !

Karena mereka sibuk dgn pengajian, ceramah, mengajar dan aktivitas lainnya yg cukup padat. Ketika itu, kemana kah umat mencari solusi? Yah, pasti ke dukun dan tukang sihir atau kpd ustadz yg melakukan praktik Perdukunan juga alias uskun.

■ Inilah barangkali sbg pandangan saya.

Semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "Bolehkah Mengkhususkan Diri Menjadi Peruqyah (Bagian 2)"