Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Batasan Bolehnya Ruqyah "Selama Tidak Mengandung Syirik"

Konsep "Selama Tidak Mengandung Syirik", Bagaimana ?
Musdar Bustamam Tambusai
(Founder MATAIR / Majlis Talaqqi Ilmu Ruqyah)

===================

■ Hadits yang selalu melandasi munculnya teknik dalam proses ruqyah adalah hadits ketika Rasulullah saw ditanya tentang ruqyah dizaman Jahiliyah dan beliau menjawab "Perlihatkanlah ruqyah yang pernah kalian lakukan. Tidak mengapa dengan ruqyah selama tidak ada unsur syirik di dalamnya".

■ Hadits ini menjadi dalil bagi banyak praktisi pengobatan untuk melakukan inovasi dan penciptaan teknik khusus.

■ Dikalangan peruqyah yang membawa bendera ruqyah syar'iyyah, pun ada yg menjadikan hadits ini secara mutlak untuk dijadikan pembenaran tanpa melihat hakikat ruqyah syar'iyyah yang sebenarnya.

■ Kita sepatutnya -sebagai praktisi- melihat redaksi hadits tersebut sebagai berikut :

a • Hadits ini disampaikan oleh Nabi dalam konteks ruqyah.

b • Yang dimaksud ruqyah adalah lafadz yang dibacakan oleh peruqyah selama proses ruqyah.

c • Media atau wasilah yg digunakan dalam proses ruqyah tidak termasuk hakikat ruqyah seperti
》• Herbal, daun bidara, habbatus sauda' , kurma dsb.
》• Madu, air yang diruqyah, talbinah dsb.
》• Bukhur (asapan) seperti kayu gaharu, kesturi dll.

■ Inilah konsep dasar atau disebut al-ashlu. Kita mesti memahami konsep dasar baru kemudian kita dapat memahami konsep cabang atau al-far'u.

■ Oleh karena itulah Nabi menyebutkan "selama tidak ada unsur syirik" karena ini prinsip atau _ushuluddin_.

■ Sedangkan masalah cara terapi yg "haram" dijelaskan oleh hadits lain "Berobatlah kalian tapi jangan berobat dengan sesuatu yg haram". Ini dalam konteks cara, benda atau tindakan.

■ Jadi, ruqyah itu adalah lafazh dan kalimat bukan tindakan fisik atau medianya. Ruqyah akan menyebabkan kesyirikan jika ada bacaan dan lafal yg menjurus pada keyakinan yg merusak tauhid. Tapi jika ada cara atau teknik yg menyalahi hakikat ruqyah, maka menjadi tindakan yg diharamkan.

■ Adapun terapi gangguan jin, sihir dan 'ain dengan menggunakan daun bidara, tinta za'faron, garam dan sebagainya tanpa ada dalil yang menyebutkannya, merupakan _tajribah_ daripada ulama. Ini diluar hakikat ruqyah.

■ Ini bagian furu' yang penilaian hukumnya ditentukan oleh cara dan prosesnya. Jika tidak bertentangan dengan akidah dan syariat, maka boleh atau halal. Tapi jika mengandung perbuatan yg membahayakan, merusak keyakinan atau akidah maka bisa menjadi haram. Jika haram, jangan dijadikan sbg cara atau teknik.

■ Sementara orang ada yg meyakini dari hadits diatas bahwa yg dilarang adalah yg mengandung syirik. Sedangkan yg haram tidak. Padahal keduanya memiliki dalil masing-masing dari hadits Rasulullah saw dlm kontek perobatan.

■ Jika ingin membuat pernyataan bahwa ruqyah yg dilakukan tidak mengandung syirik, maka yang dinilai pertama adalah lafazh dan kalimat bukan teknik dan cara. Karena prinsip dasar ruqyah ada pada bacaan bukan pada tindakan.

■ Jika terkait penyimpangan dalam tindakan dan cara, maka -menurut saya- status yg dipakai lebih tepat digunakan adalah haram atau bid'ah, bukan syirik. Meskipun perbuatan syirik itu terlarang tapi dia berada dalam konteks akidah atau keimanan.

■ Sedangkan halal haram ada pada konteks fikih. Sementara bid'ah dlm kontek tidak pernah direkomendasikan atau dicontohkan Nabi saw serta tidak memiliki landasan dalil baik secara khusus maupun secara umum.

■ Tulisan ini sebagai bentuk pemikiran yg terlintas. Silahkan kita diskusikan dengan hati yg lapang.

Wallahu a'lam.

Posting Komentar untuk "Memahami Batasan Bolehnya Ruqyah "Selama Tidak Mengandung Syirik""