Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berhati-Hatilah Dari Bencana Riya' (Seri Tazkiyatun Nafs)

Berhati-Hatilah Dari Bencana Riya'
Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para shahabatnya serta orang yang loyal kepadanya, amma ba’ad:

Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang lawan dari ikhlas dan yang membatalkan amal, yang merupakan penyakit terbesar yang menyerang seorang muslim, dan merupakan seburuk-buruk penyakit hati; yaitu riya, kita berlindung kepada Allah dari penyakit tersebut.

Apa definisi riya?
Apa jenis-jenisnya?
Apa dampaknya?

Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian merusak pahala sedekah-sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ingin riya terhadap manusia, dan tidaklah dia itu beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS al-Baqarah: 264).

Imam ath-Thabari rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “’Yang menafkahkan hartanya karena ingin riya terhadap manusia’, yakni memperlihatkan amalnya di hadapan manusia. Seperti menginfakkan hartanya terang-terangan agar nampak bagi manusia bahwa ia ikhlas karena Allah sehingga meluncurlah padanya pujian manusia, padahal hakikatnya tidaklah dia menginginkan Allah dan tidak pula mengharap balasan dari-Nya. Demikian juga maksudnya agar manusia memujinya dan berkata, ‘Sungguh dia merupakan seorang yang dermawan mulia lagi orang shaleh.’ Sehingga semakin bertambah-tambah pujian mereka padanya, padahal mereka tiada mengetahui niat sebenarnya dalam menginfakkan hartanya.”

Allah ta'ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafiq itu hendak menipu Allah, dan Allah-lah yang akan membalas tipuan mereka, dan apabila mereka hendak menegakkan shalat, mereka shalat dengan malas serta bermaksud riya dan tidak pula mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit.” (QS an-Nisa: 142).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “’Mereka bermaksud riya’, yakni tidak ada keikhlasan dalam diri mereka dan tidak hendak berhubungan dengan Allah. Mereka melakukannya dalam rangka membentuk citra dan mencari muka di hadapan manusia.

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya, ‘Seseorang berperang demi kejantanan dan berperang demi keberanian serta berperang karena riya, maka apakah semua hal tersebut merupakan di jalan Allah? Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Barang siapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi maka dia fi sabilillah.’ Dalam suatu riwayat, ‘Seseorang berperang demi mendapatkan ghanimah, dan seseorang berperang agar namanya disebut serta seseorang yang berperang agar kedudukannya dilihat’.” (Muttafaq ‘alaihi).

Ibnu Daqiq al-‘Ied berkata, “Adapun riya maka dia merupakan lawan dari ikhlas itu sendiri, mustahil keduanya bisa bertemu; yang aku maksud seseorang berperang karena Allah sekaligus karena manusia.” (Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam).

Sebagaimana halnya bahwasanya riya itu merupakan suatu kesyirikan wal ‘iyadzubillah (yang dibahas disini adalah riya yang syirik ashghar).

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu 'anhu berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Ingatlah sesungguhnya aku mengabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih aku takutkan atas kalian dari Dajjal.’ Kami bertanya, ‘Apa itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda, ‘Sesuatu itu adalah syirik tersembunyi, seseorang shalat lalu memperindah shalatnya ketika mengetahui manusia melihatnya’.” (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Haitsamiy).

Riya itu bermacam-macam, sebagiannya lebih buruk dibanding sebagian yang lain, dampak sebagiannya lebih berbahaya daripada yang lain. Yang paling besar keburukannya adalah riya yang murni, dan yang paling rendah adalah bersitan dalam hati yang jika berhasil dicegah maka beruntunglah dia namun ketika dibiarkan maka rugilah dia.

Macam-macam riya yaitu :

Pertama; Riya murni

Riya murni merupakan suatu amal yang sama sekali tidak mengharap wajah Allah, hanya menginginkan dunia dan tujuan-tujuan pribadi lainnya. Yang seperti ini adalah kondisi munafik murni, hampir tidak muncul pada seorang mukmin.

Kedua; Beramal mengharapkan wajah Allah sekaligus ingin dilihat, (riya' macam ini) ada dua macam:

1. Riya mencampuri amalnya sejak permulaan. Maka amalnya batal dan rusak. Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu 'anhu berkata, “Bahwasanya seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang berperang karena mengharap pahala sekaligus keterkenalan? Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak mendapatkan apapun’, beliau mengulangnya sebanyak tiga kali dan bersabda kepadanya, ‘Tidak mendapatkan apapun’, kemudian Rasulullah melanjutkan, ‘Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan kecuali jika amalan tersebut ikhlas dan karena menginginkan wajah Allah’.” (Dikeluarkan oleh an-Nasa’i dan dihasankan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi).

2. Riya itu datang tiba-tiba ketika beramal. Dalam hal ini Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Adapun jika asalnya amal itu untuk Allah, kemudian tiba-tiba riya menimpanya, maka jika dia menolaknya tidak diperselisihkan lagi riya tersebut tidak akan membahayakannya. Namun jika riya tersebut dibiarkan maka apakah hal ini membatalkan amal, ataukah tidak membahayakannya, dan apakah dia dibalas dengan niat aslinya? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama… Imam Ibnu Jarir rahimahullah menyebutkan bahwasanya perbedaan pendapat ini terjadi pada suatu amal yang akhirnya itu terikat dengan awalnya seperti shalat, shaum dan haji. Adapun amal yang tidak seperti itu seperti membaca Al-Qur’an, zikir, berinfaq dan menyebarkan ilmu, maka sungguh terputuslah ia dengan niat riya yang datang tiba-tiba tadi, dan mesti baginya untuk memperbaharui niatnya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam).

Dalam seluruh amal shalih yang kita lakukan senantiasa membutuhkan pembaruan niat untuk membersihkannya dari noda riya dan hal-hal yang serupa dengannya.

Ketiga; Ingin beramal demi mengharap wajah Allah dan pahala sekaligus ghanimah:

Seperti orang yang ingin berjihad sekaligus ingin mendapatkan ghanimah, maka amalnya ini tidaklah batal akan tetapi pahalanya berkurang. Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Maka sesungguhnya mencampur niat jihad dengan niat selain riya, seperti mengambil upah untuk melayani, atau mengambil sesuatu dari ghanimah atau perdagangan, maka ini mengurangi pahala jihad mereka dan tidak membatalkannya secara keseluruhan.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam).

PERINGATAN:

Jika seorang hamba beramal dengan suatu amalan demi mencari wajah Allah, kemudian dia dipuji atas hal tersebut dan dia senang dengan pujian tersebut dengan keutamaan Allah atasnya, maka hal tersebut insya Allah tidak membahayakannya. Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Maka apabila dia beramal ikhlas karena Allah kemudian Allah menyelipkan pujian untuknya dalam hati kaum muslimin, dan dengan hal tersebut ternyata dia senang akan keutamaan dari Allah dan rahmat-Nya, dan dia gembira dengan hal tersebut, maka tidaklah hal tersebut membahayakannya. Tentang makna ini terdapat hadits Abu Dzar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ‘Bahwasanya beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang beramal dengan suatu amalan untuk Allah dan manusiapun memujinya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Itu merupakan suatu kabar gembira yang disegerakan untuk seorang mukmin’. (HR. Muslim). Imam Ibnu Majah mentakhrij dalam riwayat miliknya, ‘Seorang laki-laki beramal karena Allah maka manusiapun mencintainya’, dan atas makna inilah Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Jarir ath-Thabari dan selain mereka menafsirkannya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam).

PERINGATAN KEDUA:

Riya itu bisa terjadi baik dengan melakukan suatu perbuatan maupun meninggalkannya sebagaimana perkataan Fudhail bin ‘Iyadh, “Meninggalkan suatu amal karena manusia adalah riya, dan beramal karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah Allah melindungimu dari keduanya.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih al-Maqdisi).

Dampak dan pengaruh riya pada diri seorang muslim cukup banyak dan berbahaya. Akibat riya di dunia di antaranya:

1. Tidak mendapatkan hidayah dan taufik. Allah tidak menunjuki kepada kebenaran dan memberi taufik kecuali orang-orang yang ikhlas, Allah ta'ala berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad karena kami maka kami akan menunjukkan atas mereka jalan-jalan kami dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang muhsin.” (QS al-‘Ankabut: 69).

2. Malas dan tidak sempurna dalam beramal. Orang yang riya akan berlipat ganda kesungguhannya ketika manusia memujinya, dan dia menjadi malas ketika dia diabaikan dan dicela, sebagaimana seorang yang riya itu bersungguh-sungguh apabila bersama manusia, dan menjadi malas ketika dia sendiri dan jauh dari manusia. Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata, “Tanda untuk orang yang riya itu ada tiga, yaitu malas apabila dia sendiri, rajin apabila dia bersama manusia dan dia ingin menambahkan amalannya apabila dia dipuji, serta mengurangi amalnya apabila dia dicela. (az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kabair, al-Haitami).

3. Aibnya tersingkap. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa menampak-nampakkan amalnya, maka Allah akan menyingkap aib-aibnya, dan barangsiapa yang ingin amalnya dilihat, maka Allah akan mempertontonkan isi hatinya.” (Muttafaq alaihi). Imam an-Nawawi berkata, (samma’a), dengan mim bertasydid, maknanya adalah dia menampakkan amalnya kepada manusia karena riya. (samma’allahu bihi; Allah akan menampakkannya) yaitu menyingkap aib-aibnya pada hari kiamat. Adapun ‘barang siapa yang ingin amalnya dilihat’ yakni barang siapa menampak-nampakkan amal shalih yang dilakukannya agar terlihat penting, maka Allah akan memperlihatkannya, yakni mempertontonkan isi hatinya pada seluruh makhluk. (Riyadush Shalihin).

Adapun dampak di akhirat adalah:

4. Amalannya batal. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Apabila Allah telah mengumpulkan manusia yang pertama kali diciptakan dan yang terakhir di hari yang tidak ada keraguan didalamnya, maka berserulah seorang penyeru, ‘Barang siapa menyekutukan sesuatu dengan Allah pada amalan yang dilakukannya maka mintalah pahala darinya, karena Allah tidaklah membutuhkan akan sekutu-sekutu.” (HR. Ahmad dan dihasankan oleh al-Arnauth). Berkata al-Munawi rahimahullah, “Dalam hadits ini terdapat hujjah bagi orang yang berpendapat bahwasanya riya meskipun sedikit itu membatalkan amal.” (Faidhul Qadir).

5. Menyebabkan masuk neraka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah seorang yang syahid, maka didatangkanlah ia dan dia diberi tahu akan nikmatnikmatnya maka ia pun mengetahui, Allah berkata kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan? Dia berkata, ‘Aku berperang karenamu sehingga aku pun syahid, Allah berkata, ‘Engkau dusta, akan tetapi engkau berperang karena ingin disebut pemberani, dan telah dikatakan. Kemudian diperintahkan agar dia diseret paksa dan dilemparkan ke dalam Nereka.” (HR. Muslim).

Wahai saudaraku, demikianlah telah jelas bagimu dampak-dampak riya, maka bersungguh-sungguhlah untuk membersihkan niatmu karena Allah ta'ala dalam semua kondisimu ketika menempuh jalan jihad ini. Peganglah selalu keikhlasanmu. Perbarui selalu niatmu dan perbaiki sanubarimu ketika setan menutup-nutupi hatimu. Hati anak manusia itu terkadang kuat dan terkadang lemah.

Ya Allah sesungguhnya kami berlindung kepadamu dari riya.

Disunting dari terbitan Maktabah Al-Himmah

Posting Komentar untuk "Berhati-Hatilah Dari Bencana Riya' (Seri Tazkiyatun Nafs)"