Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjaga Interaksi Dengan Lawan Jenis dalam Praktik Ruqyah Syar’iyyah


Praktik Ruqyah Syar’iyyah: Antara Dua Pihak yang Berlainan Jenis (Ajnabiy)
Oleh : Ust. Irvan Abu Naveed

Sungguh! Di antara hal terpenting, yang ditunjukkan syari’at (termasuk dalam praktik ruqyah) adalah adanya aturan dan batasan yang sangat menakjubkan dalam interaksi dua pihak yang berlainan jenis dan ajnabiy (bukan suami atau mahram). Di sisi lain, kenyataan yang penulis alami, terapis ruqyah didominasi oleh kaum pria (ikhwan) sedangkan pasien kebanyakan ialah perempuan (akhwat). Apabila kedua pihak itu berlainan jenis dan ajnabiy, maka wajib diperhatikan aturan-aturan pergaulan Islam yang mengatur interaksi ini dan yang bertalian dengannya. Karena sebagaimana ditegaskan Imam al-Syatibi, syari’at Islam berlaku umum bagi semua orang mukallaf dalam setiap keadaan.

Di sisi lain, tidak ada rukhshah (keringanan) dalam terapi ruqyah, karena tidak termasuk darurat. Suatu kondisi dipandang darurat sehingga syari’at memberikan keringanan (rukhshah), apabila terancam nyawa dan takkan selamat kecuali melakukan perbuatan yang diharamkan syari’at, sebagaimana dijelaskan para ulama berdasarkan dalil-dalil syara’.

Imam Taqiyuddin al-Nabhani mendefinisikan al-Nizhâm al-Ijtimâ’iy dengan definisi yang memenuhi aspek jâmi’ dan mâni’:

تعريف النظام الإجتماعي هو: النظام الذي ينظم اجتماع المرأة بالرجل، والرجل بالمرأة، وينظم العلاقة التي تنشأ بينهما عن اجتماعهما، وكل ما يتفرع عن هذه العلاقة


“al-Nizhâm al-Ijtimâ’iy didefinisikan sebagai sebuah sistem yang mengatur pergaulan pria dan wanita atau sebaliknya, dan mengatur hubungan yang timbul akibat pergaulan tersebut, serta segala sesuatu yang menyangkut hubungan tersebut.”

Peringatan Bagi Pihak Perempuan yang Diruqyah (Pasien) 

Pertama, Wajib menutup ‘aurat. ‘Aurat bermakna كلّ بدنها إلّا الوجه و الكفّين (seluruh badan kecuali wajah dan dua tapak tangan)

Imam Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan:

وقد استثنى الله في القران الوجه والكفين من النهي عن إبداء ما هو محل زينة من أعضاء المرأة


“Di dalam al-Qur’ân, Allâh telah mengecualikan wajah dan kedua telapak tangan dari larangan untuk menampakkan anggota tubuh wanita yang merupakan tempat melekatnya perhiasan.”
Allâh berfirman:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا


“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. al-Nuur [24]: 31)

Imam Taqiyuddin al-Nabhani memaparkan ayat di atas:

قال ابن عباس: (الوجه و الكفّين) فالنهي عن إبداء الزينة من قبل المرأة نهي عن إبداء العورة


“Ibn ‘Abbas menafsirkan kalimat ”yang (biasa) nampak dari padanya” sebagai wajah dan kedua telapak tangan. Larangan atas kaum wanita untuk menampakkan perhiasannya adalah larangan untuk menampakkan auratnya.”

Artinya, wajah dan kedua telapak tangan boleh diperlihatkan.

إِنَّ الْجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا وَجْهُهَا وَ يَدَاهَا إِلَى الْمَفْصَلِ


“Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR. Abû Dawud)

Di sisi lain, muslimah wajib menutupi ‘auratnya dengan pakaian yang tidak tipis, tidak ketat. Rasûlullâh diriwayatkan bersabda:

لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا


“Tidak boleh terlihat dari dirinya.”

Imam Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan: “Hadits ini merupakan dalil yang jelas bahwa al-Syâri’ (Allâh) mensyaratkan di dalam sesuatu yang digunakan menutupi ‘aurat agar tidak terlihat ‘aurat yang ada di baliknya. Artinya, harus menutupi kulit, tidak menampakkan apa yang ada di baliknya. Maka, wanita wajib menutupi ‘auratnya dengan pakaian yang tidak tipis, yaitu yang tidak dapat menggambarkan apa yang ada di baliknya dan tidak dapat menampakkan apa yang ada di bawahnya.”

Kedua, dalam kehidupan umum, termasuk ketika berobat ke klinik ruqyah, wanita wajib mengenakan busana syar’i, berupa pakaian atas dan bawah. Pakaian atas yakni kerudung yang dijulurkan dari kepala hingga menutupi leher dan dada (khimar) , pakaian bawah yakni jilbab bermakna baju kurung atau gamis (milhafah= baju kurung) yang wajib dipakai hingga kaki (irkhâ’) dan kaki pun termasuk ‘aurat yang wajib ditutup dengan kaus kaki. Dalil-dalil syara’ telah mewajibkannya dengan deskripsi rinci, lengkap dan menyeluruh.

Dalil diwajibkannya pakaian atas berupa khimar (kerudung yang menutupi leher dan dada):

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ


“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” (QS. an-Nûr [24]: 31)

Maksudnya, hendaklah para wanita mengulurkan kain penutup kepalanya hingga leher dan dada, untuk menyembunyikan apa yang nampak dari belahan baju dan belahan pakaian yakni leher dan dada. Ini merupakan kewajiban!

Dalil diwajibkannya pakaian bawah berupa jilbab (baju kurung atau gamis):

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ


”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS. al-Ahzâb [33]: 59)

Artinya, hendaklah mereka mengulurkan mulâ’ah (baju kurung) atau milhafah (semacam selimut) hingga menjulur ke bawah (irkhâ’). Dan ini merupakan kewajiban, sebagaimana ditegaskan Imam Taqiyuddin al-Nabhani berdasarkan dalil-dalil syara’. Jilbab dalam kamus al-Muhîth:

والجلباب كسرداب و كسنمار: القميص والثوب واسع للمرأة دون الملحفة أو ما تغطي به ثيابها كالملحفة


“Jilbab itu adalah seperti sirdâb (terowongan) atau sinmâr (lorong), yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita tanpa baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”

Dalam kamus al-Shihhâh, Imam al-Jawhari menyatakan:

الجلباب الملحفة وقيل الملاءة


“Jilbab adalah mantel/jubah dan yang sering disebut baju kurung.”

Dalam hadits dari Ummu Athiyyah, kata jilbab dimaknai al-mulâ’ah (baju kurung) yang dikenakan oleh wanita sebagai penutup di sebelah luar pakaian kesehariannya di dalam rumah:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا


Rasûlullâh memerintahkan kepada kami agar mengajak serta keluar para wanita yakni hamba-hamba sahaya perempuan, wanita yang sedang haid dan para gadis yang sedang dipingit, pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun para wanita yang sedang haid, tidak menunaikan shalat, namun turut menyaksikan kebaikan dan menyambut seruan kaum muslimin. Saya bertanya kepada Rasûlullâh , “Wahai Rasûlullâh, di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaklah saudaranya yang memiliki jilbab memakaikan jilbabnya kepada wanita itu.” (HR. Muslim no. 1475)

Hadits ini secara gamblang mewajibkan adanya pakaian luar berupa jilbab, di atas pakaian kesehariannya ketika keluar rumah. Karena Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasul , “di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab”. Rasûlullâh menjawab, “hendaklah saudaranya yang memiliki jilbab memakaikan jilbabnya kepada wanita itu.”

Maknanya adalah, jika tidak ada yang meminjaminya, maka yang bersangkutan tidak boleh keluar rumah. Ini merupakan indikasi (qarînah) yang menunjukkan bahwa perintah berjilbab dalam hadits ini adalah wajib. Wajib dikenakan di atas pakaian kesehariannya jika ia hendak keluar rumah. Jika tidak berjilbab, maka tak boleh keluar rumah.

Ketiga, Tidak boleh (haram) bertabarruj di depan publik atau di hadapan seorang laki-laki ajnabiy (asing) misalnya dengan bersolek mempertontonkan kecantikan, memakai parfum sehingga menarik perhatian, dan beragam bentuk tabarruj lainnya.

Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasûlullâh bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا


“Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat. (1) Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang. (2) Wanita-wanita berpakaian, tetapi sama juga dengan bertelanjang (karena pakaiannya terlalu minim, terlalu tipis atau tembus pandang, terlalu ketat, atau pakaian yang merangsang pria karena sebagian auratnya terbuka), berjalan dengan berlenggok-lenggok, mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini.” (HR. Muslim no. 3971)

Imam Taqiyuddin menegaskan:

التبرج قد نهى الشارع عنه، ولو كانت المرأة ساترة للعورة


“Tabarruj telah dilarang oleh al-Syâri’ (Allâh ) atas wanita, meskipun ia telah menutupi auratnya.”
Di bawah mainstream sistem kufur Demokrasi yang berpijak di atas kaki pincang sekularisme, tak jarang kita menemukan muslimah yang memang menutupi ‘auratnya misalnya mengenakan kerudung dililitkan ke leher dengan kemeja dan celana panjang, tapi ber-tabarruj. Jelas ia masih bermaksiat kepada Allâh karena 3 hal: ber-tabarruj, tidak mengenakan kerudung hingga ke dada, dan menanggalkan jilbab (gamis).

Wallaahu A’lam bi al-Shawaab.

--

Semoga bermanfaat.
www.belajarruqyah.blogspot.com/

Posting Komentar untuk " Menjaga Interaksi Dengan Lawan Jenis dalam Praktik Ruqyah Syar’iyyah"